Refleksi Akhir Ramadhan 1442 H

Satu bulan ke belakang, bulan penuh barakah, bulan penuh ampunan, telah berlalu tanpa terasa. Satu bulan yang penuh dengan berbagai peristiwa yang tidak akan mungkin terbayangkan di tiga atau empat tahun ke belakang. Tahun-tahun dimana kehadiran Ramadhan disambut dengan pemikiran akan persiapan ibadah semaksimal mungkin, dan tentunya mudik, kumpul bersama keluarga besar di kampung halaman. Sesuatu yang dua lebaran ini menjadi agak sulit untuk dilakukan, apalagi tahun ini, dengan adanya pembatasan aktivitas masyarakat.

Ramadhan tahun ini, seperti juga tahun lalu, masih dihantui oleh ketakutan akan pandemi. Akan tetapi, seperti juga hantu, ada yang takut, ada juga yang tidak. Seperti foto yang sempat viral di media, betapa padatnya orang memenuhi pusat perbelanjaan demi mendapatkan baju baru untuk lebaran, sampai lupa akan kewajiban menjaga jarak, dan sudah pasti bukan menjauhi kerumunan namanya bila mengunjungi pusat perbelanjaan. Atau pada kasus lokasi wisata pada hari lebaran yang padatnya luar biasa. Entah apa alasan orang melupakan kewajiban jaga jarak dan menjauhi kerumunan, apakah karena euphoria lebaran membuat orang sejenak melupakan corona, atau memang abai.

Bicara abai dalam mematuhi protokol kesehatan, tentunya ini bukan sesuatu yang bisa dinafikan begitu saja. Lihat India, yang abai dalam menerapkan protokol kesehatan hanya dalam dua event nasional dan keagamaan, dalam sekejap menjadi pemegang rekor dunia dalam jumlah korban meninggal terbanyak akibat covid-19. Dan keabaian akan resiko penularan menyebabkan mutasi virus covid spesifik India menjadi tersebar ke seluruh dunia, karena warga yang ber-uang menyewa jet pribadi untuk pergi demi menghindari kondisi chaos yang terjadi di negaranya.

Mengapa masih ada orang yang abai sementara virus terus merajalela dan korban terus berjatuhan? Salah satu jawabannya adalah karena tidak faham. Karena tidak mengerti, jadi masa bodoh, jadi tidak mau tahu. Padahal, untuk menjadi manusia seutuhnya, seseorang harus terus mencari tahu, yaitu dengan cara belajar. Descarte menyatakan, Cogito ergo sum, aku berfikir (faham) maka aku ada. Untuk faham orang perlu belajar.

Belajar tidak melulu harus dalam bentuk pendidikan formal berjenjang. Belajar bisa dari mana saja, dari siapa saja. Apalagi di era internet seperti ini, dimana informasi mengenai apa saja bisa diperoleh hanya dari genggaman. Tapi sayang, ke-masa bodoh-an ini kadang membuat orang jadi malas untuk mencari tahu serta berupaya untuk tidak lagi bodoh.

Baru terjadi di minggu akhir Ramadhan, seorang PMI (pekerja migran indonesia-bukan palang merah indonesia), dikabarkan meninggal dunia di Arab Saudi. Keluarga baru mendengar berita duka setelah sekian hari, karena pihak otoritas kesulitan mencari kontak keluarganya. Mengapa sulit? Karena pihak manajemen PMI nya yang abal-abal. Hal ini bukan terjadi sekali, melainkan sudah berkali-kali. Kenapa sudah terjadi berkali-kali tapi masih terus terjadi lagi? Tentunya banyak faktor penyebab. Tapi yang pasti, salah satu penyebabnya adalah kurangnya kemampuan literasi masyarakat akan pencarian informasi dan berfikir kritis. Ketika banyak kasus PMI yang dianiaya atau melanggar hukum karena keberangkatannya tidak sesuai prosedur, masyarakat yang cerdas harusnya mencari tahu mengapa dan bagaimana agar hal yang sama tidak terjadi pada dirinya. Tapi sayangnya tidak, dan kejadian yang sama terus berulang.

Ibnu al Haitam, seorang ilmuwan muslim yang oleh dunia barat lebih dikenal dengan nama alhazen, pernah mengungkapkan bahwa untuk mencari kebenaran dalam ilmu pengetahuan seseorang tidak boleh hanya menerima saja apa yang pernah ditulis oleh para cendekia terdahulunya. Dalam hal ini, ibnu al Haitam mengajak kita untuk selalu berfikir kritis, dan melihat segala fenomena dari berbagai sudut pandang. Bahkan dalam ekstremnya, beliau mengatakan bahwa seseorang harus menjadi musuh dari segala yang dibacanya agar mampu benar-benar memahami celah-ceruk kelebihan maupun kekurangan terkait informasi yang diterima dari bacaannya.

Kembali ke bulan Ramadhan, bulan yang penuh keistimewaan, dimana umat muslim diminta untuk belajar bersabar dengan menahan lapar, sambil memulihkan kembali organ-organ pencernaannya. Organ-organ ini tentunya akan menjadi kembali sehat seperti Sang Khalik memaafkan semua hambanya dan kembali menjadi suci, setelah bulan Ramadhan. Tapi ini tentunya tidak serta merta. Ada ilmu yang harus dipelajari dan informasi yang perlu dipahami agar bisa berada pada kondisi ini. Dan seperti ayat yang pertama turun, Allah meminta kita semua, umat muslim, melalui representasi Rasululllah SAW, untuk senantiasa membaca. Membaca yang seperti apa? Tentunya membaca yang bukan sekedar melisankan rangkaian huruf menjadi sebuah kata yang bermakna yang dirangkai menjadi kalimat yang berarti. Membaca disini tentunya berpengertian belajar, agar kita semua terus bersemangat untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Ramadhan 2021 Masehi atau 1442 Hijriyah telah lewat, semoga kita semua betul-betul kembali fitri, dan bisa terus mempertahankannya sambil terus belajar dan menjadi insan yang literat, sampai dipertemukan kembali pada Ramadhan yang akan datang. Taqabalallahu minna wa minkum, taqabal yaa Kaariim….